Soal Demo Perpanjangan Masa Jabatan Kades, GMNI Pamekasan: Gerakan Melanggengkan Jabatan

Pamekasan – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Pamekasan menilai demonstrasi yang dilakukan oleh kepala desa di gedung DPR RI gerakan ingin melanggengkan jabatan.

Sebab, kata Ketua GMNI Pamekasan Taufik, demonstrasi yang dilakukan seluruh kepala desa itu tidak ada usulan yang produktif untuk membawa arah memperbaiki desa. Bahkan tidak ada dasar untuk membawa kepentingan rakyat.

“Harusnya isu yang dibawa yang lebih baik, misalnya terkait transparansi anggaran, pelayanan, perbaikan program agar tepat sasaran, dan bagaimana membangun kemandirian ekonomi desa,” kata Ketua GMNI Pamekasan Taufik.

Dia menilai munculnya wacana penambahan periode kepala desa dari 6 tahun ke 9 tahun itu suatu bukti arah demokrasi hari ini mandek. Bahkan bukti kemunduran demokrasi.

Dikatakan, hanya dengan adanya aksi Kades se-Indonesia ke gedung DPR RI pada Selasa (17/1) kemaren, pemerintah pusat malah menerima usulan tersebut menjadi Prolegnas.

“Jika ini diamini oleh pemerintah, maka ini akan merusak demokrasi. Jabatan publik yang dipilih oleh rakyat secara demokrasi harus dipergilirkan guna menghindari kecendrungan korup dan otoriter,” ungkapnya.

Ia menambahkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lord Acton pada awal abad 20, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut pasti korup (power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely).

Oleh karena itu, kata dia, jika merujuk pada pasal 39 UU No 6 Tahun 2014 tetang Desa, disebutkan bahwa kepala desa dapat ikut pemilihan kepala desa selama tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut.

Dengan demikian, jika masa jabatannya 9 tahun maka kepala desa dapat menjabat selama 27 tahun. Dengan begitu, akan memberikan peluang untuk melahirkan sistem otoriter yang korup.

“Ini salah satu faktor melanggengkan korupsi di desa. Tak hanya itu, regenerasi kepemimpinan di desa akan terhambat, sehingga akan muncul polemik di masyarakat dan menjadikan masyarakat hopeless terhadap perubahan kepemimpinan di desa yang akhirnya masyarakat menjadi apolitis,” tukasnya.